::Speak with your knowledge::

Search

Friday, March 07, 2008

Makan Tanah Karena Miskin??

Di perkampungan sekumuh apa pun di Indonesia, warganya masih berupaya mendapatkan sepiring nasi untuk makan siang.

Namun di Haiti, kemiskinan sudah tidak bisa dilukiskan lagi. Di Cite Soleil, kawasan terkumuh Port-au-Prince, ibukota Haiti, sebutir nasi pun tidak bisa lagi didapatkan. Lalu apa yang mereka gunakan untuk mengganjal perut lapar? Kue tanah kering.


Charlene, remaja 16 tahun tidak punya pilihan lain untuk mengusir lapar bayinya yang baru berumur sebulan. Satu-satunya pilihan hanya lumpur berwarna kuning khas dataran tinggi Haiti.

Sebenarnya lumpur itu sudah dikenal lama di Haiti sebagai obat nyeri lambung dan sumber kalsium bagi ibu hamil dan anak-anak. Namun bagi warga di kawasan semacam Cite Soleil, tempat Charlene berbagi rumah dua kamar dengan bayi, lima saudara kandung dan dua orangtua pengangguran, kue yang terbuat dari lumpur dicampur garam dan sayuran itu menjadi makanan pokok harian.

"Ketika ibu saya tidak memasak apa pun, saya harus memakannya tiga kali sehari," kata Charlene. Bayi yang diberi nama Woodson, terbaring diam di pangkuannya. Bayi itu terlihat lebih kurus ketimbang waktu dilahirkan, yaitu 3 kg.

Meski menyukai kue yang berasa asin itu, Charlene mengaku sakit perut ketika harus tiap hari menyantap kue itu. "Ketika saya menyusui pun, bayi ini kadang-kadang tampak mulas juga," tuturnya.

Harga pangan di seluruh dunia terus naik beriringan dengan harga minyak, kebutuhan pupuk, irigasi dan transportasi. Harga bahan pokok seperti jagung dan gandum juga meningkat tajam. Meningkatnya kebutuhan global akan bioenergi juga turut punya andil dalam mendongkrak harga makanan.

Problem ini terlihat semakin mengerikan di Karibia, karena ketersediaan makanan di kawasan itu sangat tergantung dari impor. Inilah yang mendorong kenaikan 40 persen harga makanan di sejumlah tempat.

Tahun 2007, Badan Makanan dan Pertanian PBB menyatakan keadaan darurat di Haiti dan beberapa negara Karibia lain, setelah kawasan itu terlanda badai dan gagal panen. Para pemimpin Karibia pun menggelar pertemuan puncak darurat Desember lalu untuk membicarakan kemungkinan pemotongan pajak makanan dan menciptakan pertanian regional demi mengurangi ketergantungan pada impor.

Di pasar kawasan kumuh La Saline, dua cangkir beras sekarang dijual seharga 60 sen, naik 10 sen dari harga Desember dan 50 sen dari harga setahun lalu. Kacang, susu kental dan buah setali tiga uang. Yang lebih parah, harga tanah yang bisa dimakan pun ikut-ikutan naik hingga hampir 1,5 dolar. Lumpur dengan takaran untuk 100 keping kue dijual 5 dolar.

Dengan harga 5 sen sekeping, kue lumpur kuning itu masih lebih murah dengan ukuran apa pun dibanding bahan pokok lain. Bagaimana tidak, 80 persen penduduk Haiti berpendapatan kurang dari 2 dolar per hari. Kekayaan hanya dikuasai segelintir warga.

Para pedagang mendatang tanah itu dari kota Hinche di Haiti tengah. Di pasar La Salin tanah itu dijual di lapak-lapak bercampur dengan sayur mayur dan daging yang dikerubungi lalat. Kaum perempuan membeli tanah itu dan mencampurnya menjadi adonan lumpur di sebuah tempat yang disebut Fort Dimanche, tak jauh dari situ. Di bekas benteng itulah lumpur itu dicampur dengan garam dan sayuran untuk menambah cita rasa. Lalu dipanggang di terik matahari sampai kering sebelum dijual di pasar atau dijajakan di pinggir jalan.

Menurut seorang wartawan yang mencicipi, kue itu terasa lembut di mulut dan seolah mengisap seluruh ludah di mulut begitu potongannya menyentuh lidah. Namun selama berjam-jam kemudian, rasa tanah yang tak enak masih menempel di lidah.

Tentu saja kemudian, kue lumpur ini mengundang perhatian para ahli kesehatan. Tanah bisa mengandung parasit atau racun lain, tetapi bisa juga memperkuat daya tahan tubuh janin di rahim ibu terhadap penyakit tertentu, kata Gerald N Callahan, ahli imunologi dari Colorado State University yang mempelajari geofagi, ilmu tentang makan tanah.

Sedangkan para dokter Haiti justru menganggap kue itu berisiko menyebabkan kekurangan gizi. "Yakinlah, kalau saya melihat orang makan kue itu, saya pasti akan melarangnya," kata dr Gabriel Thimothee, Direktur Eksekutif di Kementerian Kesehatan Haiti.

Marie Noel (40), menjual kue itu di pasar untuk memenuhi kebutuhan tujuh anaknya. Namun keluarganya juga mengonsumsi makanan itu. "Saya berharap suatu hari saya punya cukup makanan, sehingga kami bisa berhenti makan tanah. Saya tahu itu tidak baik bagi kami," ujarnya.